Minggu, 18 Oktober 2009

Di Laut Memanen Bahan Bakar Nabati

Menyurutnya minyak di perut bumi mendorong semangat para peneliti memburu energi alternatif ke mana pun, bahkan hingga ke laut. Selain energi dari gelombang dan arus, tumbuhan yang hidup di sana pun memendam energi melimpah, bahkan bakal menjadi ”emas hijau” pada masa mendatang. Jika itu terjadi, pemilik kendaraan bermotor tak perlu antre seharian untuk mendapat bahan bakar minyak. Memiliki 81.000 kilometer panjang pantai atau pesisir—terpanjang di dunia setelah Kanada—terbayang besarnya peluang Indonesia untuk kembali menjadi pengekspor minyak. Kali ini yang dipasarkan adalah bahan bakar nabati (BBN), bukan lagi bahan bakar minyak (BBM).
Indonesia sebagai pemilik perairan tropis terluas di bumi berpotensi menjadi penghasil BBN terbesar di dunia. Dengan kelimpahan sinar matahari sebagai bahan fotosintesa tumbuhan, perkembangbiakan biota lautnya jauh lebih tinggi dibanding di daerah subtropis.
Dari beragam sumber daya hayati perairan Nusantara, jenis mikroalga (ganggang mikro) kini mulai jadi fokus penelitian karena potensinya sebagai bahan baku penghasil BBN. Selama ini sejumlah mikroalga terbatas dikembangkan untuk bahan baku kosmetik dan farmasi.
Saat ini negara yang gencar membudidayakan mikroalga sebagai BBN adalah Amerika Serikat, Spanyol, dan Belanda. Mereka menggunakan spesies Botryoccocus braunii dari jenis mikroalga hijau. Namun, karena paparan sinar mataharinya terbatas, produktivitasnya rendah.
Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya.
Dari empat lokasi pesisir yang diteliti selama dua tahun terakhir, yaitu Kepulauan Seribu, Manado, kawasan Laut Arafura, dan pulau Batam, ia telah menemukan 11 spesies mikroalga.
Dalam penelitian biokultur mikroalga sejak 1980-an, dihasilkan 1 ton mikroalga per meter kubik air. Di antaranya yang potensial sebagai BBN adalah Chlorella—memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella (23 persen), Isochrysis galbana (35 persen), dan Nannochloropsis oculata (68 persen).
Nilai lebih
Mikroalga yang biasa disebut fitoplankton, karena menyerap karbondioksida dan nutrien secara efektif dapat tumbuh cepat dan bisa dipanen dalam empat hingga 10 hari. Produktivitas 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat. Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa atau jarak pagar perlu 3 bulan.
Lalu bila dibanding minyak bumi yang sulit mencari sumbernya dan perlu proses yang rumit dan mahal, mikroalga juga unggul. Pada 1 hektar ladang minyak bumi hanya bisa disedot 0,83 barrel minyak per hari, sedangkan pada luas yang sama budidaya mikroalga menghasilkan 2 barrel BBN.
Nilai lebih lain, antara lain, adalah sifat sumbernya yang terbarukan dan ramah lingkungan. Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga juga meningkat 2,5 kali bila ke dalam kolom airnya dipasok CO2 , dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2. Untuk menghasilkan 5 ton mikroalga setiap hari diperlukan 1 kg CO2.Total butuh 10 kg CO2 hingga panen.
Ini artinya kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lingkungan global, karena selama ini CO2 jadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. ”Karena itu, dengan budidaya ini, Indonesia berpeluang mendapat dana dari negara maju,” saran Mujizat.
Di sisi industri, keberadaan budidaya ini untuk menyerap emisi CO2 dari pabriknya mendukung pencapaian peringkat hijau industri yang ramah lingkungan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pada tahap pengolahan mikroalga menjadi BBN, juga tidak timbul zat pencemar karena limbahnya 100 persen jadi pakan ternak.
Budidaya mikroalga dikembangkan di dekat habitat alaminya. Karena di situlah lingkungan yang paling nyaman bagi jasad renik itu berkembang biak.
Untuk pengembangan budidaya mikroalga, SBRC-IPB akan bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam pemanfaatan kawasan pesisir dan pemberdayaan masyarakatnya agar terentas dari kemiskinan. Mujizat mengharap dukungan dari semua kalangan terutama industri nasional untuk tahap komersial.
Bahan bakar alga
Dalam tubuh mikroalga terkandung protein (50 persen), lemak (30 persen), dan karbohidrat (20 persen). Dari lemak diekstraksi menjadi biodiesel, sedangkan karbohidrat bioetanol untuk menggantikan bensin.
Untuk menghasilkan BBN, mikroalga disaring, dikeringkan, dan diekstraksi. Pada tahap berikutnya, untuk menghasilkan biodiesel dilakukan pemurnian dan esterifikasi untuk mengurai lemak menjadi hidrokarbon.
Selanjutnya ampas atau residu pada proses tersebut di distilasi untuk menghasilkan bioetanol. Sisa dari tahap kedua ini mengandung protein yang diolah menjadi pakan ternak.
Proses pembuatan BBN dari mikroalga laut tropis ini telah didaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atas nama Mujizat Kawaroe, April lalu. Risetnya lalu meningkat pada upaya menaikkan kandungan lipid. Penemuan enzim ini juga akan dipatenkannya.
Mengetahui hasil penelitian Mujizat, pihak asing berbondong-bondong menawarkan kerja sama eksklusif dengan pihak IPB. Tawaran itu ditampiknya. Ia memilih kerja sama terbuka, bahkan ia cenderung bekerja sama dengan industri nasional.
Dalam seminar berjudul ”Oil Algae: The Next Prospective Environmental Biofuel Feedstock” di Bogor, Selasa (26/8), SBRC- IPB menyepakati kerja sama dengan PT Diatoms Cell Energy, Biomac Corp Sdn Bhd (Malaysia), dan Supreme Biotechnologies Ltd (Selandia Baru). Perusahaan nasional Diatoms Cell Energy akan menampung semua hasil penelitian dan mendanai peningkatan teknologinya.
Perusahaan ini menyediakan dua lokasi budidaya, yaitu di Cilamaya (Sukabumi) dan di Pulau Natuna (Kepulauan Riau), dikaitkan dengan suplai CO2 dari hasil samping kilang minyak.
Dalam program kerja sama itu, SCRC-IPB menargetkan tahun 2011 melakukan studi kelayakan dan uji penggunaan pada kendaraan bermotor, dan dalam lima tahun mendirikan pabrik percontohan.

Sumber : www.inaplas.org

Kamis, 15 Oktober 2009

Membuat Kertas dari Alga Sebagai Konversi Pulp dari Pohon

Kertas dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Pernahkan anda membayangkan bagaimana jadinya dunia tanpa kertas? Tidak ada buku, tidak ada koran, tidak ada majalah, sekolah sangat terganggu, kantor macet dan banyak industri akan terhambat karena banyak yang menggunakan kertas sebagai salah satu bagian packing.

Tapi pernahkah terpikir, ternyata buku yang berdampak sangat besar membuat orang mengerti akan dunia dan akan banyak hal, justru menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelestarian hutan. Kertas membutuhkan hutan sebagai sumber bahan baku utamanya yaitu kayu. Sebuah fakta menunjukkan bahwa produksi kertas yang mendukung proses kelahiran manusia-manusia pandai ternyata membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit dari hutan. Dari data produksi tahun 1999, 1 ton pulp memerlukan 4,5 m3 kayu bulat, dan pada tahun tersebut dibutuhkakan 24 juta m3 kayu bulat. Untuk memenuhi kebutuhan itu diperlukan sekitar 300.000 ha hutan alam. Bisa dibayangkan 9 tahun kemudian yaitu di tahun ini (2008) berapa ha hutan yang harus ditebang demi menghasilkan lembar demi lembar kertas.

Indonesia dikatakan memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Tapi ternyata luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen, [World Resource Institute, 1997].

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003].

Salah satu motif pengambilan pohon dari hutan yaitu untuk dijadikan bahan dasar pembuatan kertas. Sekitar 40 persen dari pohon yang ditebang secara komersial berakhir sebagai campuran serat pabrik kertas.

Pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia sungguh menakjubkan. Kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat tajam menjadi 7.232.800 ton. Bila memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada tahun 1998-2005 maka kapasitas produksi industri kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat bertambah menjadi 13.696.170 ton (APKI Direktori, 1997).

Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat menjadi 3.905.600 ton. Sementara itu, pada tahun 1998-1999 telah direncanakan penambahan kapasitas produksi sebesar 1.390.000 ton. Dengan demikian, pada akhir tahun 1999 total kapasitas produksi industri pulp dapat mencapai 5.295.600 ton. Penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang sudah ada dan adanya rencana investasi baru pada tahun 2000 - 2005 akan menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir tahun 2005 menjadi total 12.745.600 ton.

Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp dan kertas juga diikuti oleh kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita. Konsumsi kertas per kapita di Indonesia pada tahun 1992 baru mencapai 10 kg, kemudian meningkat menjadi 15,5 kg pada tahun 1996. Kenaikan konsumsi kertas per kapita di Indonesia utamanya dipicu oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran berupa kertas dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar.

Kayu adalah bahan baku kertas paling favorit karena ketersediaannya yang cukup besar dan efisiensi penggunaan lahan. Kayu diolah menjadi bubur kertas (selanjutnya disebut pulp) lalu diolah lagi menjadi kertas. Dalam prosesnya, gelondongan kayu dipotong kecil-kecil (chips). Serat-serat kayu dipisahkan dengan cara memasaknya dengan senyawa sulfur seperti sulfat dan sulfit. Proses sulfat - proses kraft - menggunakan bahan kimia natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Pulp yang dihasilkan dari proses ini akan berwarna coklat gelap dan sangat kuat. Dalam proses ini akan diemisikan ke udara gas-gas yang tergolong NCG (Non condensable gases) berupa TRS (total reduced sulphur), contohnya gas SO2 (sulfur dioksida). SO2 adalah salah satu gas yang bersifat racun. Emisi gas-gas ini dapat ditandai keberadaannya di udara dengan adanya bau telur busuk yang menyengat. Untuk setiap ton pulp yang dihasilkan akan dilepaskan ke udara 1 sampai 3 kg gas sulfur dioksida.

Proses sulfit menggunakan asam sulfat sebagai bahan kimia pemasak. Pulp yang dihasilkan dari proses ini akan menghasilkan warna yang tidak terlalu gelap, lebih lemah dan halus daripada pulp yang dihasilkan proses kraft.

Untuk menghasilkan pulp yang berwarna putih, maka pulp harus mengalami proses bleaching (pemutihan) dengan menggunakan klorin dioksida. Sisa bahan kimia kemudian dibuang bersama ratusan ribu air yang digunakan untuk pemutihan tersebut. Bahan kimia klorin dapat kita temukan sehari-hari dalam pemutih pakaian yang biasa digunakan dirumah kita masing-masing.

Untuk membuat kertas, berbagai jenis pulp basah diaduk dan dicampur dengan fillers (bahan pengisi) seperti kalsium karbonat (CaCO3), kaolin, titanium oksida, dll serta additif (bahan tambahan) seperti rosin, aluminium sulfat, dan bahan pewarna. Kemudian campuran ini diratakan dan dikeringkan. Untuk kertas cetak dan kertas tulis, bahan yang sudah dikeringkan tersebut kemudian dilapisi dengan campuran tanah liat atau kapur. Dari 34 jenis pulp yang berbeda dapat diproduksi sekitar 420 jenis gradasi kertas.

Untuk setiap ton nya, pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu. Satu ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. Dalam satu hektarnya, hutan tanaman industri (acacia) dapat dihasilkan lebih kurang 160 meter kubik kayu. Bila diambil contoh, sebuah industri pulp dengan kapasitas produksi 2 juta ton pulp pertahun akan membutuhkan kayu yang berasal dari hutan seluas 58 ribu hektare setiap tahunnya. Acacia memiliki daur tumbuh selama 6 tahun sehingga sebuah industri pulp membutuhkan hutan seluas 348 ribu hektar untuk dapat terus beroperasi.

Untuk setiap hektarnya, hutan alam menghasilkan kayu rata-rata sebanyak 60 meter kubik. Untuk industri yang sama seperti diatas, bila 30 persennya diperoleh dari hutan tanaman industri yang ditanamnya maka untuk memenuhi 70 persen kebutuhannya maka industri bersangkutan akan terus menerus menebang hutan alam seluas 107 ribu hektare setiap tahun. Ini artinya, setiap jam hutan seluas 5 kali lapangan sepakbola ditebang untuk menghasilkan kertas. Itu baru untuk memenuhi kebutuhan satu industri pulp. Dengan tujuh industri pulp yang ada dewasa ini dengan kapasitas 5,8 juta ton setiap tahunnya, maka hutan seluas 3 lapangan bola ditebang setiap menitnya!

Saat ini 90% bahan baku pulp di dunia berasal dari kayu, yang mencakup angka sekitar 170 juta ton per tahun. Sebanyak 640 juta meter kubik dikonsumsi setiap tahunnya, atau hampir sekitar 13% dari total kayu yang digunakan di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa harus menebang hutan alam, maka dibutuhkan sekitar 10 juta hektar hutan tanaman yang harus ditanami setiap tahunnya.

Akhirnya, penelitian yang terus menerus telah menemukan solusinya. Kertas tidak lagi bergantung kepada alam dan hutan, kertas dapat dibuat dari bahan lain yang sangat banyak diperoleh di Indonesia dan sangat mudah dibudidayakan yaitu Alga Merah, salah satu jenis rumput laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia.

Alga Merah, yaitu Gelidium amansii dan Pterocladia lucia merupakan bahan baku alternatif yang dapat digunakan untuk menyelamatkan hutan. Alga ini banyak tumbuh di perairan Indonesia. Kertas yang dihasilkannya putih bersih dan halus seperti kualitas kertas mahal yang digunakan oleh majalah Time.

Kelebihan alga merah adalah pengolahannya menjadi bubur kertas sangat sederhana dan penetralannya tidak menimbulkan limbah. Untuk mengolahnya menjadi pulp menggunakan bahan kimia yang mudah netral seperti kaporit dan peroksida sebagai pemutih dan tungku ekstraksi sederhana untuk menghancurkan bahan mentah.

Proses pembuatan kertas dari rumput laut, tidak berbeda dari pembuatan kertas dari kayu. Ada lima proses pokok, yakni penyiapan bahan baku, pemasakan rumput laut, ekstraksi rumput laut, pemutihan dan pencetakan .

Secara runtut, proses produksi dimulai dari panen rumput laut merah, kemudian dijemur, dibersihkan, dan dipotong-potong. Lalu dimasukan dalam tungku dan dimasak pada suhu tinggi (boiling), sehingga keluar ekstrak “inti” berupa agar untuk pangan.

Ampas rumput laut—yang telah diambil agarnya—kemudian diputihkan (bleaching) lalu dihancurkan jadi bubur rumput laut merah (pulp). Bubur inilah yang kemudian diolah jadi kertas. Industri kertas ini tidak bersaing dengan industri agar-agar, tapi jusru memanfaatkan limbah agar-agar.

Bila dibandingkan, proses produksi kertas dari kayu, sarat akan bahan kimia seperti NaOH dan Na2S (untuk memisahkan serat selulosa dari bahan organik). Dan, berefek gas yang berbau dan mengandung hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dimethyl sulphide (CH3SH3), dimethyl disulphide (CH3S2CH3) dan senyawa gas sulfur.

Hal inilah yang membuat operasional pabrik kertas berbahan baku kayu hampir selalu berbenturan dengan kepentingan lingkungan hidup. Sementara pengolahan produksi kertas dari rumput laut, diproses nyaris tanpa bahan kimia selain pemutihan dengan klorin. Dan yang terpenting, hampir tidak ada limbah yang keluar, sehingga tidak berdampak bagi kesehatan.

Di Indonesia Algae merah ini ditemukan pertama kali di Bali, dan saat ini sedang dikembangkan secara intensif di Lombok. Alga merah pun dapat berproduksi dengan cepat yaitu sekitar 7 - 13 % bahkan dapat bertumbuh sampai 20 % per harinya. Bandingkan dengan kayu yang membutuhkan puluhan tahun.

Budidaya Alga Merah dapat dilakukan oleh siapa saja karena mudah dikembangkan. Alga ini menyukai perairan tenang. Perairan semacam ini banyak terdapat di kawasan pantai Indonesia. Suatu potensi yang menjanjikan bagi Indonesia. Sayangnya produksi kertas dengan alga ini baru dilakukan secara serius oleh Korea, Indonesia hingga saat ini masih berkutat sebagai negara penghasil bahan produksi. Suatu kesempatan baru untuk meningkatkan taraf hidup para Nelayan dan masyarakat pantai dan juga suatu peluang bagi mengurangi penebangan hutan untuk dijadikan kertas.

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&jd=LOMBA+TULIS+YPHL+%3A+HUTAN+%2C+KERTAS+DAN+ALGA+MERAH&dn=20081029164450